Hukrim

Keterangan Saksi Ahli, Ungkap Kejanggalan Penetapan Nenek Asifa Sebagai Tersangka

SURABAYA – HKNews.info : Saksi ahli Prof Dr Sardjijono, SH, M.Hum, yang dihadirkan kuasa hukum Asifa, dalam sidang praperadilan hari Rabu (6/3) di Pengadilan Negeri Surabaya, mengungkapkan fakta hukum ihwal aturan yang ternyata banyak dilanggar oleh tergugat praperadilan, dalam hal ini Penyidik Polda Jaitm.

Dalam sidang, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya, ini antara lain menjelaskan soal perbedaan alat bukti dan barang bukti, sampai soal kaitan Pasal 263 (2) KUHP yang tidak bisa dipisahkan dari pasal 263 (1) KUHP.

Kenyataan, nenek Asifa, 79, yang dilaporkan lagi oleh Pudjiono Sutikno ke Polda Jatim, telah dijerat dengan pasal 263 (2) KUHP dan dijadikan tersangka menggunakan surat palsu oleh Penyidik Polda Jatim, sedangkan hingga kini tidak diketahui siapa pelaku pembuat surat palsu, sebagaimana diatur dalam pasal 263 (1) KUHP.

Oleh karena itu, Hidayat, SH dan Erick Kurniawan, SH, penasehat hukum Asifa, berharap, Hakim Praperadilan, Jan Manoppo, dapat bersikap obyektif dan bertindak seadil-adilnya, menerima permohonan praperadilan yang diajukan pemohon. “Pihak keluarga juga masih meyakini bahwa masih ada keadilan untuk Asifa melalui hakim yang menyidangkan perkara praperadilan ini,” kata Hidayat.

Menurut pakar Hukum Pidana, Ilmu Administrasi dan Ilmu Kepolisian, ini soal penetapan tersangka telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, yakni merupakan kewenangan dari penyidik.

“Syarat untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, berpijak pada putusan MK nomor 21 tahun 2014, harus ada minimal dua alat bukti sebagaimana dirumuskan dalam pasal 184 KUHAP. Ini adalah normatifnya yang tercantum dalam Putusan MK tersebut,” jelas Prof  Sardjijono.

Dalam praktek hukum, lanjutnya, di tingkat penyidikan, Putusan MK Nomor 21 tahun 2014 tidak bisa dipenuhi penyidik, karena pasal 184 KUHAP ayat (1) huruf (a) sampai (i), menyatakan bahwa alat bukti yang sah dimana menjadi domain dalam lembaga peradilan bukan dalam penyidikan

“Maka dalam pasal 185 KUHAP, dijelaskan bahwa keterangan saksi itu yang bagaimana, keterangan ahli itu yang bagaimana, dan sebagainya, terakhir adalah keterangan terdakwa. Terhadap Putusan MK nomor 21 itu sebenarnya tidak menganulir adanya bukti permulaan,” ungkap ahli.

Bukti permulaan itu diperuntukkan bagi penyidik. Maka tatanannya dari barang bukti menjadi bukti dan kemudian menjadi alat bukti. Dan alat bukti ini menjadi kewenangan hakim untuk menetapkannya, menjadi alat bukti atau tetap menjadi bukti saja.

Menjawab pertanyaan Hakim Jan Manopo tentang bukti permulaan, dijelaskan Prof Sardjijono, bahwa bukti permulaan adalah barang-barang yang ada kaitannya dengan suatu peristiwa pidana dan dijadikan sebagai barang bukti. “Barang bukti ini akan menjadi alat bukti ketika telah melalui proses hukum dimana barang-barang yang akan dijadikan bukti itu harus melalui proses sahnya suatu barang menjadi bukti, yaitu harus ada syarat formil yang dipenuhi penyidik,” papar ahli.

“Jadi singkatnya, alat bukti itu sudah dibawa ke persidangan, sedangkan barang bukti adalah suatu barang-barang yang dijadikan bukti dalam proses penyidikan. Barang bukti masih belum bisa dijadikan alat bukti,” jelas Prof Sardjijono, dalam sidang. Yang menilai sebuah barang bukti menjadi alat bukti adalah hakim, bukan penyidik. Dan penyidik tidak akan bisa menetapkan sesuatu menjadi alat bukti, apalagi alat bukti yang sah.

Menurut saksi ahli, jika surat (yang dijadikan alat bukti) adalah formil maka harus berpijak pada hukum perdata. Dalam hukum perdata diatur dalam pasal 1888 KUHPerdata, bagaimana kekuatan bukti surat tadi yang dalam asasnya dan sifatnya adalah formil. Dan dalam pasal 1888 KUHPerdata itu, kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan, termasuk surat, adalah pada akte aslinya.

Berpijak pada Putusan MA nomor 3609K/perdata/1985 dan Putusan MA nomor 112/perdata/1998, kata Prof Sardjijono, surat bukti foto copy yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.

“Akan menjadi sebuah tanda tanya besar, jika yang diperiksa di labfor itu hanya berupa foto copy tanpa ada aslinya. Ini ada sesuatu atau something wrong. Jika bicara tentang konteks pemalsuan, baik itu surat palsu atau surat yang dipalsukan, pasti ada aslinya untuk dinilai dan harus ada pembanding, mana yang asli dan mana yang dipalsukan,” tegasnya

Menyinggung soal penerapan pasal 263 ayat (1) KUHP dan pasal 263 ayat (2) KUHP yang dijadikan acuan untuk menjadikan Asifa sebagai tersangka, ditegaskan Prof Sardjojono,  bahwa kedua pasal itu saling berkaitan dan tidak bisa berdiri sendiri.

“Jika penyidik menjerat seseorang dengan pasal 263 ayat (2), penyidik juga harus bisa membuktikan adanya tersangka lain yang melanggar pasal 263 ayat (1). Sangat janggal jika penyidik bisa menjerat seseorang sebagai tersangka dugaan tindak pidana menggunakan surat palsu, namun penyidik tidak bisa menemukan siapa yang menjadi tersangka atau pelaku pembuat surat palsu, sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat (1) KUHP !” pungkas Prof Sardjijono. (par/red)

Related Articles

Back to top button