Jateng Raya

Sarasehan Budaya, Permadani Cabang Mijen Kupas Serat Wedhatama

SEMARANG – HKNews.info : Permadani (Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia) Cabang Kecamatan Mijen, Kota Semarang menggelar Sarasehan Budaya bertempat di Pendapa Kinanthi, Kelurahan Wonolopo, Kecamatan Mijen, Semarang, Rabu (5/4/2023) malam.

Gelar Budaya kali kedua yang dilaksanakan oleh Permadani Cabang Mijen dibulan Ramadhan 1444 H ini mengambil tema “Jumbuhing Wewarah Agama, Serat Wedhatama Tuwin Patrap Jawa” dengan pemateri Drs. Suyitno Yoga Pamungkas, M.Pd, Ketua DPP Permadani.

Sarasehan mengupas Serat Wedhatama yang merupakan karya sastra Raja Mangkunegara IV yang berisikan pitutur luhur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan dirinya sendiri, dibedah dalam sarasehan yang diikuti tak kurang 200 peserta dari berbagai kalangan.

Secara umum Serat Wedhatama dipisah menjadi tiga suku kata, Serat adalah tulisan, Wedha artinya ilmu/ajaran/pengetahuan dan Tama berarti kebaikan/keluhuran.

Sehingga Serat Wedhatama adalah merupakan karya sastra yang memuat ilmu/pengetahuan yang mengajarkan kepada manusia agar menjadi orang yang baik dan berbudi pekerti luhur.

Dalam upaya membedah makna Serat Wedhatama yang dikemas dalam gelaran sarasehan di bulan Ramadhan ini, Permadani Cabang Mijen bekerjasama dengan DPD Permadani Kota Semarang berupaya mengupas tema Jumbuhing Wewarah Agama (sesuai dengan ajaran agama), Serat Wedhatama Tuwin Patrap Jawa (sikap orang Jawa).

Pemateri sarasehan bergelar Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs. Suyitno Yoga Pamungkas, M.Pd yang juga Ketua Umum DPP Permadani secara ringkas memberikan penjelasan terkait sarasehan dengan tema, Jumbuhing Wewarah Agama, Serat Wedhatama Tuwin Patrap Jawa.

Menurutnya, selama ini masih banyak pendapat yang menganggap kebudayaan Jawa atau kejawen itu merupakan sebuah laku/ritual Jawa yang menurut pemahaman sebagian masyarakat dikatakan klenik dan bertentangan dengan syariat agama.

Pandangan masyarakat yang mengatakan kebudayaan Jawa atau laku kejawen identik dengan klenik menurut Suyitno kurang tepat jika tidak didasari dengan fakta dan referensi yang kuat.

“Saya mencoba mencari, apakah pandangan-pandangan orang Jawa atau tindakan-tindakan orang Jawa itu bertentangan dengan agama atau tidak?,” tutur Suyitno kepada satujuang.com usai memberikan materi sarasehan.

“Sekilas saya menemukan itu ada bukti-bukti yang menandakan bahwa pandangan yang berkaitan dengan orang Jawa (patrap Jawa) atau tindakan orang Jawa itu tidak ada satupun yang bertentangan dengan agama,” tandasnya.

Dijelaskan Yitno, secara substansif ada korelasi didalam kitab suci Alquran, namun secara kontekstual dikatakanya jelas berbeda dalam bahasanya.

“Kan bahasa Arab dengan bahasa Jawa berbeda. Tapi secara substansif intisarinya ada,” tandasnya.

Ditambahkannya, adanya pandangan budaya Jawa bertentangan dengan agama, karena kurangnya seseorang memahami budaya Jawa tidak secara mendalam, hanya dilihat dari luarnya saja, sehingga sudut pandang terhadap kubudayaan Jawa hingga saat ini masih dianggap suatu tindakan yang tidak sesuai dengan tuntunan agama.

“Ya mungkin karena ketidaktahuannya atau mungkin sudah apriori dulu terhadap budaya Jawa, sehingga apa yang ada didalam budaya Jawa itu dianggap tidak sesuai agama (bid’ah/syirik),” ujar Suyitno.

Suyitno mengambil sebuah contoh yang masih berlaku dalam upacara adat mantenan yang menggunakan adat Jawa.

Dalam upacara adat mentenan yang menggunakan adat Jawa masih banyak ditemukan menggunakan beberapa pelengkap berupa Tuwuhan (tumbuhan) yang dipajang di depan pintu masuk acara resepsi mantenan.

“Orang mengatakan bahwa Tuwuhan itu syirik, syiriknya dimana?, Kan tidak ada satupun disana kita meminta sesuatu kepada Tuwuhan tersebut, apalagi menyembah, kan gak ada,” tegasnya.

“Tumbuhan itu adalah sebuah simbol doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujarnya.

Seperti halnya disana ada tumbuhan gedang raja (pisang raja) yang dalam budaya Jawa dimaknai dari kata Panggegadang (pengharapan) agar berlaku seperti raja.

“Nah disitu kan tidak ada unsur meminta terhadap tumbuhan, namun hanya simbol,” imbuhnya.

Seperti halnya ada juga tumbuhan lainnya, yaitu godong alang-alang, godong opo-opo (daun ilalang, daun opo-opo). Alang-alang disini mempunyai makna alangan, dan godong opo-opo bermakna apapun.

“Jadi simbol dari godong alang-alang dan godong opo-opo disimbolkan sebuah pengharapan tidak ada halangan apapun juga,” tambah Yitno.

“Jadi itu sebetulnya adalah permohonan yang disimbolkan dengan sebuah benda. Dan masih banyak lagi simbol-simbol yang ada dalam kebudayaan Jawa,” imbuhnya.

Guna memberikan pemahaman keterkaitan budaya Jawa dengan kehidupan dialam semesta ini, Permadani memberikan ruang bagi masyarakat yang berkeinginan belajar tentang budaya.

“Pawiyatan Permadani (kursus Permadani) merupakan wahana agar orang dapat lebih mengenali budayanya dan bukan untuk mencetak seseorang menjadi Panatacara atau MC,” pungkas Suyitno.

Sementara itu, Ketua DPD Permadani Kota Semarang, Subardo, SH tidak menduga dengan paparan materi terkait Serat Wedhatama yang menjadi tema sarasehan pada Rabu malam (5/4/2023) di Pendopo Kinanthi, Wonolopo, Mijen ini ternyata terkait erat dengan ajaran agama.

Pasalnya, menurut Subardo, dalam Wewarah Wedhatama yang didalamnya berisikan tembang-tembang Jawa jika diaplikasikan dengan agama, ternyata sangat relevan dan masuk.

Dikatakannya, ada ayat-ayat tertentu dalam surat Al-Quran yang jika dikorelasikan dengan Serat Wedhatama terdapat makna yang sama, hanya berbeda dalam bahasanya.

Jika didalam Al-Quran menggunakan bahasa Arab, sedangkan sastra Serat Wedhatama karya Raja Mangkunegaran yang berbasis Islam mengambil dari ajaran Islam digunakan sebagai tuntunan hidup manusia.

“Didalam Permadani ada yang namanya sesanti (pedoman) Tri Niti Yogya yang jika diaplikasikan dengan beberapa ayat dalam surat Al-Quran ternyata ada kesamaan dalam penghayatan kehidupan sehari-hari,” ungkap Bardo.

Adapun sesanti Tri Niti Yogya yang menjadi pegangan warga Permadani adalah :

1. Memayu hayuning sasama (terus berupaya menciptakan suasana kedamaian/ketentraman lahir batin)

2. Dados juru ladosing bebrayan ingkang sae (sebagai abdi masyarakat yang baik)

3. Sadengah pakaryan sagetha tansah ngremenaken tiyang sanes (setiap perilaku/langkah tindakannya agar dapat menyenangkan orang lain).

Ada korelasi yang sangat erat jika budaya dikaitkan dengan agama meskipun tidak keseluruhan dari budaya Jawa masuk dalam ajaran agama.

Hal ini menurut Subardo, bergantung dari siapa yang menilai. Jika yang menilai masih dangkal dalam pemahaman terkait pencampuran antara agama dan budaya tentu saja akan menganggap bahwa budaya bertentangan dengan ajaran agama.

“Jika dicampurkan antara budaya dengan agama, di masyarakat kan ada yang mengatakan Islam abangan. Budaya dijalankan, agama dijalankan, terkadang orang memandang menjadi tidak sinkron. Namun jika didalami lebih mendalam, hal itu bisa sinkron antara agama dan kebudayaan walaupun tidak keseluruhan masuk, karena budaya Jawa lebih dulu ada, sebelum Islam masuk ke tanah Jawa,” ungkap Bardo.

Sarasehan budaya Permadani Cabang Mijen dihadiri, Ketua DPP Permadani, Ketua beserta jajaran DPW Permadani Jawa Tengah, Ketua DPD Permadani Kota Semarang beserta pengurus, Ketua KSBN (Komisi Seni Budaya Nasional) Jawa Tengah, Permadani Ratualiyan, Permadani Banyulang, Permadani Gunungpati serta warga sekitar Kelurahan Wonolopo, Kecamatan Mijen, Semarang. (had).

Related Articles

Back to top button