Komisi C DPRD Kota Surabaya Menyepakati Seruan Masyarakat Nelayan Menolak SWFL
Tinjauan PII : “Pembangunan proyek ini ternyata merugikan !”

SURABAYA – HKNews.info : Rapat Komisi C DPRD Kota Surabaya, Senin siang (6/1/2025), diwarnai heroisme ala semangat juang yang diserukan peserta rapat dari Forum Masyarakat Madani Maritim, yang meminta rapat mengambil keputusan tegas menolak pembangunan pulau buatan di tengah laut perairan timur Surabaya, yang dikenal dengan Surabaya Water Front Land (SWFL).
Mereka yang terdiri dari masyarakat pesisir nelayan merasa terancam penghidupannya bila SWFL tidak distop. Karena betapa proyek SWFL akan merusak lingkungan, ekosistem dan kehidupan hayati di pesisir pantai, tempat para nelayan berburu ikan demi menafkahi keluarganya, yang sudah mereka jalani selama berpuluh tahun.

Rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Eri Irawan, dengan dihadiri 44 elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Madani Maritim, Ketua PII (Persatuan Insinyur Indonesia), dari Pemkot Surabaya adalah BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan, Badan Perencana Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan, Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata, dan dari Bagian Hukum dan Kerjasama, akhirnya mengambil kesimpulan :
- Komisi C DPRD Kota Surabaya bersama Forum Masyarakat Madani Maritim pada intinya bersepakat menolak Pembangunan pulau buatan di tengah lau Surabaya ( Surabaya Water Front Land) yang masuk dalam program Proyek Strategis Nasional (PSN).
- Komisi C DPRD Kota Surabaya akan berkoordinasi dengan ;pihak yang berwenang untuk membatalkan proyek Surabaya Water Front Land.
- Komisi C DPRD Kota Surabaya meminta Pemerintah Kota Surabaya berkoordinasi dengan pihak yang berwenang agar mengkaji ulang proyek Surabaya Water Front Land dengan memperhitungkan dampak negative terhadap ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya masyarakat Surabaya.
“Pada intinya, kami (komisi C DPRD Surabaya-red) bersepakat menolak pembangunan pulau buatan di tengah laut Surabaya (Surabaya Water Front Land) yang masuk dalam program Proyek Strategis Nasional (PSN), itu dan kami akan berusaha untuk berkoordinasi dengan pihak yang berwenang,” tutur Eri Irawan, yang menerima berbagai masukan para peserta rapat, tak kecuali perkembangan sesuai fakta di lapangan.

Seperti diungkap Ir Yusak dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII) di hadapan pimpinan dan peserta rapat, “Kami berkesimpulan, apabila pembangunan ini terus dilanjutkan tidak hanya kota Surabaya yang terancam menjadi kota yang rusak, namun kota Surabaya dihadapkan dengan biaya besar untuk melakukan rekayasa di sekitar kawasan tersebut. Antara lain rekayasa drainase sungai – sungai dan aliran – aliran air di kawasan tersebut. Belum lagi rekayasa pemukiman dan pendidikan !”
Jadi, lanjut Yusak, mumpung masih di level perencanaan, sehingga masih banyak ruang bagi semua elemen kota, kalau kita bicara tentang lima pilar, dan saya berharap lima pilar ini bisa bergerak bersama – sama untuk menyatakan bahwa pembangunan proyek ini ternyata merugikan.
Yusak juga mengungkapkan bahwa pengurusan Amdal yang dilakukan PT Granting Jaya selaku perusahaan kontraktor yang hendak menggarap proyek SWFL ini berusaha dipersempit karena dianggap hanya kota Surabaya. Padahal ini wilayah ‘segitiga emas’ yakni Surabaya, Gresik dan Bangkalan. “Ini merugikan Surabaya karena beban ekonominya akan jatuh di Surabaya sehingga dampaknya urban akan semakin tinggi di Surabaya,” tuturnya.

Sedangkan menurut Herlina Harsono dari Komisi C DPRD Surabaya, kalaulah proyek ini menimbulkan dampak ekonomi untuk pemerintah… iya, tapi apa kemudian ada dampak ekonominys untuk masyarakat sekitarnya ? Ini yang perlu dipaparkan lebih lanjut. “Jangan sampai kemudian Pembangunan ini bukan menumbuhkembangkan masyarakat, tamu membuat masyarakat makin tersisih dari lingkungannya sendiri,” tegasnya, seraya menambahkan, tentunya secara pribadi ia menginginkan dampak pembangunan itu utamanya menghidupkan perekonomian, Pendidikan, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.
Pembangunan apalagi berskala nasional, kata Herlina, tentunya harus memiliki perencanaan yang matang, apa dampak negaifnya, dan efek positifnya bagi masyarakat itu sudah harus dipetakan terlebih dahulu. Lalu kita bicara pelaksanaannya, siapa saja yang dilibatkan, dan siapa masyarakat yang terdampak. Di dalam hal ini kan masyarakat terdampak adalah masyarakat pesisir nelayan, dsb. Dampak pembangunannya apa ? mampu meningkatkan taraf hidup di sana dari sisi apa, pendidikan, ekonomi, pariwisatanya, taraf hidupnya meningkat.
“Kalau kemudian masyarakat menjadi lebih meningkat taraf hidupnya, di situ baru di lihat siapa sih pengembang ataukah kontraktor yang backgroundnya mampu menaikkan taraf hidup masyarakat, mampu membangun dan kemudian membuat wilayah setempat lebih hidup ? Nah tapi saya tidak melihat bahwa track record ini dimiliki oleh PT Grating Jaya !” tegasnya.

Kepala Bappeda, Penelitian dan Pengembangan Kota Surabaya, Dwija, mengatakan, “Pemkot Surabaya terus akan mengawal dengan mempertimbangan kearifan budaya local terutama yang menyangkut soal kemaslahatan warga Kota Surabaya. Jadi dalam perjalanannya kami terus memberikan masukan dan saran terkait dampak yang harus diantisipasi.”
Di pihak lain, Alif Iman Waluyo anggota Komisi C dari fraksi Gerindra, menyatakan pihaknya lebih memikirkan kepentingan hajat hidup masyarakat sekitar, terutama kaum nelayan. “Kami akan berusaha untuk meminta kepada pemerintah pusat untuk tidak terburu-buru merealisasikan pembangunan ini, maka kami akan menyampaikan kesepakatan penolakan ini demi kepentingan masyarakat dan Pemkot Surabaya. Perlu dikaji ulang soal manfaat dan mudharatnya,” tandasnya. (yok)