Jateng Raya

“Permadani” Cabang Kecamatan Mijen Gelar Pendadaran

SEMARANG – HKNews.info : Sebanyak 56 siswa Pawiyatan Bregada 3 Permadani (Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia) Cabang Kecamatan Mijen, Kota Semarang mengikuti pendadaran (ujian) praktek Panatacara dan Pamedhar Sabda di Balai Kinanthi, Desa Wonolopo, Kecamatan Mijen, Semarang, Rabu (30/3/2022) malam.

Ujian (pendadaran) dilaksanakan dalam tiga hari dengan materi uji pendadaran sinerat (ujian tertulis), pendadaran pilihan pamedhar sabda (berbicara didepan orang banyak dengan tujuan yang sesuai acara) dan pendadaran paragan panyandra (menggambarkan suatu keadaan).

Setelah mengikuti pawiyatan (pendidikan) selama 6 bulan yang di mulai pada Oktober 2021 hingga Maret 2022, para siswa mendapat materi pembelajaran terkait adat budaya Jawa serta menjadi Master of Ceremony (MC) bahasa Jawa.

Ketua Permadani Cabang Kecamatan Mijen, Semarang, Edy Purnomo mengatakan, dari 56 siswa yang aktif mengikuti pawiyatan, 52 orang yang dapat mengikuti ujian bersama (pendadaran). Empat orang mengikuti ujian susulan.

“Dari 56 siswa, 52 siswa yang mengikuti ujian (pendadaran), dua orang ijin dan yang lainnya sakit akan kita laksanakan pendadaran susulan,” tutur Edy.

Dikatakan Edy, dalam enam bulan mengikuti pawiyatan (pendidikan) diakuinya masih banyak kekurangan yang harus dibenahi dalam memahami adat dan budaya Jawa, khususnya dalam praktek pelaksanaan prosesi adat hingga tata cara dalam melaksanakan adat budaya tersebut serta penguasaan bahasa dan sastra Jawa.

Sedangkan menurut Drs. Y.A Pedi Hendriadi, Ketua DPW Permadani Jawa Tengah yang sekaligus sebagai tim penilai dengan mata uji busana Jawa memberikan masukan kepada siswa agar lebih meningkatkan lagi latihan – latihan secara mandiri maupun kelompok agar dapat dicapai apa yang menjadi tujuan dari Permadani, yaitu memahami adat budaya secara baik sesuai kearifan lokal.

“Dalam pendadaran ini siswa diuji sejauh mana bisa menyerap setelah 6 bulan mengikuti pelajaran adat budaya Jawa. Namun belum bisa dijadikan sebagai sebuah karya yang bisa ditampilkan, karena ini adalah awal dari proses belajar, dan perlu banyak latihan secara terus menerus,” himbau Pedi.

Ditekankan Pedi, menjadi seorang panatacara disamping keindahan dalam cara menyampaikannya juga benar dalam ucapannya serta penguasaan dalam perbendaharaan kata perlu ditingkatkan.

“Harapannya, temen-temen siswa tidak hanya puas sampai disini, tingkatkan kemampuan dengan latihan dan latihan,” imbuhnya.

Tim penilai lainnya, Antonius Suparyatun, pengurus DPP Permadani Jawa Tengah yang menilai tentang Renggeping Wicara (penguasaan bahasa dan sastra) mengatakan, untuk menjadi panatacara dibutuhkan latihan mengolah diri (gladen) untuk dapat menyelaraskan antara ucapan dan irama gending yang mengiringinya.

“Jadi jangan sampai pangandikan / kedhaling lesan (ucapan) itu congkah atau tidak pas, tidak harmonis dengan irama gendingnya,” kata Anton.

Dan untuk lebih meningkatkan memampuan dalam hal berbicara, Anton memberikan tip untuk lebih memahami kata-kata atau tembung dan mengetahui artinya.

“lebih banyak belajar lagi, membaca, meniru, menonton, dan jika tidak tahu, mau bertanya kepada yang lebih tau. Dan kalau bisa, mengumpulkan satu bregada atau satu angkatan untuk berkumpul kembali, latihan bersama dengan mendatangkan dwija (guru) atau pengurus yang lebih mahir sehingga ada yang menilai dan mengarahkan,” kata Anton.

Dan menurut KRT Supriyanto Jayeng Nagara, pengurus DPP Permadani juga sebagai penilai sastra bahasa saat dimintai tanggapan pendadaran yang di ikuti oleh siswa pawiyatan Bregada 3 Permadani Kecamatan Mijen mengatakan, bahwa kekurangan dalam hal belajar adalah wajar dan pasti ada kurangnya, karena budaya Jawa sangat luar biasa.

“Ibaratnya kita kan baru icip – icip. Icip – icip itu mencicipi supaya merasa enak sehingga nantinya menjadi penikmat. Nah kalo menjadi penikmat berarti dia akan berusaha mencari mana yang benar menurut tata cara Jawa,” ucapnya.

Dan untuk menjadi panatacara yang handal, menurut Supri dari sekian orang hanya beberapa orang saja yang benar-benar menguasainya. Tapi minimal mengetahui cara berbahasa Jawa dengan benar dan tidak mencari-cari, meng-Indonesiakan menjadi Jawa, tapi Jawa yang benar.

Sementara itu ditempat sama, Penasehat Permadani Cabang Kecamatan Mijen, KRT H.A Daud Aji Nata Nagara memberikan pernyataan bahwa selesai kursus/pawiyatan bukan akhir dari proses belajar, tapi justeru itu awal dari belajar.

Dan untuk mencapai sukses itu ada tiga tahapan, yaitu mau membaca, mendengarkan dan mengucapkan. Karena bahasa Jawa menurut Kanjeng Dawud adalah bahasa yang unik.

“Bahasa Jawa itu unik, sama ucapannya, beda konteknya, bisa beda arti dan maknanya. Kemudian banyak makna-makna yang tidak sekedar konotatif tapi yang di notatif itu banyak sekali diksi atau pilihan kata yang bermakna di notatif,” tutur Kanjeng Daud usai memantau pendadaran di Balai Kinanthi, Wonolopo, Mijen.

Apalagi budaya Jawa itu banyak yang menggunakan lambang/perlambang. Jadi bahasa itu tidak diartikan secara letterlux leksikal, tidak kemudian hanya ber-arti konotatif, tetapi bisa ber-arti yang lain bergantung pada konteksnya.

Dikatakannya, bahasa Indonesia lebih banyak menggunakan logika bahasa, tetapi dalam bahasa Jawa di dalamnya ada rasa bahasa, dan hal ini harus banyak membaca dan mengucapkannya serta di praktekkan dalam arti yang sesungguhnya. Selain itu banyak mendengarkan.

“Maka itu yang saya katakan tadi, bahwa selesai kursus bukan akhir dari semuanya, tapi merupakan awal dari belajar yang sesungguhnya,” pungkas Kanjeng Daud. (had).

Related Articles

Back to top button