Polemik SKPD-KB Reklame Oleh Bapenda Kian Meruncing. Dewan Siap Kawal Surat Keberatan Pengusaha SPBU Surabaya.

SURABAYA – HKNews.info : Fantastis ! Tagihan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPD-KB) Reklame yang ditetapkan Bapenda Kota Surabaya terhadap pengusaha SPBU nilainya fantastis, yakni mencapai Rp 26 miliar. Inilah yang membuat pengusaha SPBU Surabaya menjadi keberatan.
Polemik ini pun masuk dan menjadi bahasan penting di Komisi B DPRD Kota Surabaya, dan telah dua kali digelar hearing masalah ini. Termasuk, mengundang tiga pakar hukum yakni Prof Dr Rr Herini Siti Aisyah, SH. MH (Universitas Airlangga Surabaya), Dr Sukadi SH. MH (Universitas Airlangga Surabaya) dan Dr Himawan Estu Bagiyo SH.MH (Universitas Wisnuwardhana Malang).
Tak kurang, Komisi B DPRD Surabaya mengunjungi Kantor BPK RI (Badan Pemeriksan Keuangan Republik Indonesia) Perwakilan Provinsi Jatim, pada Rabu (10/9/2025) untuk konsultasi penyelesaian polemik ini. Para pakar hukum memang telah menyarankan Komisi B DPRD Kota Surabaya dan Pemkot Surabaya konsultasi lebih dulu ke BPK, sehingga kebijakan tersebut tidak merugikan para pihak.
Hadir dalam rapat konsultasi dengan BPK pada hari Rabu tersebut, Ketua Komisi B DPRD Surabaya Mohammad Faridz Afif, Wakil Ketua Komisi B Moch Machmud, Sekretaris Komisi B Ghofar Ismail, dan para anggota Komisi B masing – masing, Agoeng Prasodjo, Yuga Pratisabda Widyawasta Bagas Imam Waluyo,Hj Enny Minarsih, dan Saiful Bahri. Sedangkan dari Pemkot Surabaya, hadir Ahmad Basari (Kepala Bapenda), Ikhsan (Inspektorat) dan Wiwiek Widayati Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Surabaya.
Surat Keberatan Pengusaha SPBU
Wakil Ketua Komisi B, Moch Machmud menyampaikan, pihaknya sudah konsultasi ke BPK atas laporan pengusaha SPBU di Surabaya yang keberatan terhadap listplang SPBU yang dianggap sebagai objek pajak.
Terungkap, para pengusaha SPBU di Surabaya sebenarnya sudah membayar lunas pajak reklame pada 2019, 2020,2021, 2022, 2023. Pembayaran itu didasarkan pada Surat Keterangan Pajak Daerah (SKPD) resmi yang dikeluarkan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Surabaya. Namun akhir 2023 muncul masalah ketika pengusaha SPBU menerima tagihan SKPD Kurang Bayar (SKPD-KB) sebesar Rp 26 miliar. Kenaikan signifikan yang disebabkan oleh penambahan atau perubahan cara penghitungan objek pajak oleh Pemkot Surabaya tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu Inilah yang membuat para pengusaha SPBU yang tergabung dalam asosiasi Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Kota Surabaya kaget setengah mati dan menolak melakukan pembayaran.
Menurut politisi Partai Demokrat ini keputusan BPK memang sudah final. Tapi masih ada peluang bagi pengusaha SPBU untuk mengajukan surat keberatan ke Pemkot Surabaya. Listplang itu kan keliling empat sisi, yakni sisi belakang, samping kanan dan kiri. Tiga sisi ini tidak menarik karena definisi iklan itu adalah mempromosikan produk dan menarik.
“BPK menyarankan, pengusaha SPBU dipersilakan mengirim surat keberatan ke Bapenda, bukan ke BPK. Berdasarkan (surat keberatan) itu nanti akan dipertimbangkan oleh Bapenda,” tandas Machmud.
Berarti listplang sebagai objek pajak reklame ada peluang untuk dihapus ? Machmud menegaskan tidak dihapus, tapi luasannya berkurang. “Sekarang ini kan masih keliling empat sisi (depan, belakang, samping kanan dan kiri). Mungkin nanti jadi satu, yakni sisi depan saja,” imbuh dia.
Tagihan Versi BPK vs Tagihan Versi Pemkot
Machmud mengatakan, BPK berpegang pada Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Wali Kota (Perwali). Hanya saja, kan timbul persepsi macam-macam. Semua tergantung persepsi dan penilaian kalau listplang tersebut dianggap objek pajak reklame. Sedangkan menurut pengusaha SPBU, listplang warna merah dan putih itu melambangkan nasionalisme bendera merah putih, bukan desain produk Pertamina. Kalau produk Pertamina itu warnanya ada hijau, merah, dan biru. “Di listplang kan tidak ada warna produknya. Menurut saya masuk akal jika pengusaha SPBU keberatan karena merah putih itu lambangnya bendera. Tapi, BPK tetap kenceng kalau itu bagian dari reklame,” ungkap dia.
Lantas solusinya? Machmud menjelaskan, ya harus sesuai definisi reklame, yakni yang menarik perhatian orang itu baru dianggap reklame. “Ya nanti akan kita kawal permohonan keberatan pengusaha SPBU ke Pemkot Surabaya, bagaimana bisa dibantu agar luasan yang dibayar tidak sebanyak itu,” tutur dia.
Selain luasan yang menjadi objek pajak reklame, para pengusaha SPBU juga keberatan atas tagihan kurang bayar sebesar Rp 26 miliar. Machmud membeberkan ada perbedaan pandangan soal penghitungan tagihan pajak kurang bayar. Kalau versi BPK tagihannya sejak ditemukan, yakni 2023, 2024, 2025. Tapi versi Pemkot Surabaya tagihan dihitung mundur lima tahun ke belakang, yaitu mulai 2019, 2020, 2021, 2022, dan 2023.
“Terungkap data tidak sinkron antara BPK dengan pemkot. BPK sendiri tidak mau ikut campur versinya pemkot. Jadi BPK menghitung sejak ada temuan, yakni 2023 ke depan (2024 dan 2025),” tandas dia seraya menambahkan, Bapenda berkilah menghitung mundur lima tahun karena ada Perda dan Perwali yang mengatur.
Dasar Hukum Tagihan
Tapi bagaimana dengan pendapat pakar yang menyatakan tidak boleh berlaku surut atau mundur, Machmud menyebut memang seperti itu, SKPD-KB tidak bisa berlaku surut. Termasuk menurut BPK juga. “Jadi, ini inisiatif dari Bapenda sendiri untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Makanya BPK menagih sejak ada temuan, yakni pada 2023. Itu yang harus dibayar, tapi sampai 2024 dan 2025 belum dibayar, sehingga pengusaha SPBU diingatkan terus,” ujar dia.
Kalau versi BPK, berdasarkan temuan 2023, kemungkinan tagihan yang harus dibayar pengusaha SPBU sekitar Rp 1,6 miliar. Tapi jika menurut versi Pemkot Surabaya yang menghitung mundur 2019 hingga 2023, maka tagihannya mencapai Rp 26 miliar. Jadi ada selisih Rp 24,4 miliar.
Sebelumnya pakar hukum dari Universitas Wisnuwardhana Malang, Dr Himawan Estu Bagiyo SH.MH menjelaskan konsep Perda Reklame. Ini memang satu bentuk pendapatan daerah karena kategorinya pajak daerah.
Dia menyebutkan polemik yang terjadi di Surabaya. Pada 2019 sudah ditetapkan SKPD yang harus dibayar oleh seluruh pengusaha SPBU di Surabaya. Jadi 2019, 2020, 2021, 2022, dan 2023 sudah dibayar lunas oleh para pengusaha SPBU. Namun di akhir 2023, keluarlah keputusan namanya SKPD-KB, kurang bayar. Konsepnya ini memang tidak mengubah dasar penetapan. Artinya, regulasinya tetap Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Reklame.
Dari segi hukum, menurut Dr Himawan Estu, ini kemudian terjadi interpretasi yang berbeda antara apa yang sudah ditetapkan di 2019 hingga 2023 yang sudah dibayar, ternyata Pemkot Surabaya mengeluarkan ketetapan ada kurang bayar, tapi regulasinya tetap.
Kurang bayar tersebut karena Pemkot Surabaya mengikuti hasil audit BPK yang menyatakan bahwa ada objek yang kurang bayar.
“Langkah-langkah yang dilakukan Pemkot Surabaya ini dari sisi hukum administratif kurang tepat atau kurang cermat. Seharusnya ketika ada hasil audit BPK yang menyatakan objek pajak itu bukan A tapi B yang menyebabkan harus ada kurang bayar, semestinya melakukan fungsi jawaban, menjawab secara tertulis, “ungkap Dr Himawan Estu.
Setelah menjawab secara tertulis, lanjut dia, seharusnya Pemkot Surabaya konsultasi dengan DPRD. Kenapa? Karena pajak reklame adalah termasuk pajak daerah yang ditetapkan dalam Perda. Sedangkan Perda ini kan ditetapkan bersama DPRD. “Sebelum mengeluarkan SKPD-KB seharusnya Bapenda diskusi dengan DPRD. Ini bagian pertama yang secara prosedural tidak dilampaui oleh Pemkot Surabaya, ” tegas dia.
Dr Himawan Estu menjelaskan konsepnya. Pertama, menurut dia, konsep pemungutan pajak itu harus memenuhi prinsip negara hukum. Negara hukum itu menjamin kepastian hukum. “Jadi kalau kemudian sudah dibayar kemudian terbit kurang bayar lagi kan tidak ada kepastian. Jangan-jangan besok bayar kurang lagi, ada penghitungan baru. Ini tak ada kepastian hukum. Pemkot harus hati-hati,”pesan dia.
Kedua, prinsip demokrasi. Menurut dia, korban (pengusaha SPBU) ini harus diajak bicara. “Jadi sebelum menetapkan kurang bayar, mestinya dirunding dulu agar SPBU-SPBU ini tahu bahwa akan ada ketetapan kurang bayar. Yang mana hitungannya itu mestinya didiskusikan supaya ada feedback atau umpan balik, ” tutur dia.
Ketiga, seharusnya pemerintah menjaga efektif dan efisien.
Sementara itu, dua pakar lainnya yakni, Prof Dr Rr Herini Siti Aisyah SH.MH dan Dr Sukadi SH.MH, menyatakan bahwa seharusnya kalau kemudian ada beban baru yang dinyatakan bahwa luasan lingkup pajak yang harus dibayar itu ada perhitungan baru, seharusnya subjek pajak (korban) diajak bicara dulu. (yok)