Dari Kampung Anak Negeri, LPA Jatim : Surabaya Bisa Jadi Pelopor Perlindungan Anak Berbasis Komunitas

SURABAYA – HKNews.info : Memasuki usia ke-732, Kota Surabaya terus menunjukkan komitmennya dalam melindungi warganya, termasuk anak-anak yang rentan terhadap berbagai permasalahan sosial. Salah satu isu yang tengah menjadi sorotan adalah penanganan terhadap anak-anak yang terlibat dalam kenakalan remaja, kekerasan, hingga perilaku yang berpotensi memicu patologi sosial di masyarakat.
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur, M. Isa Ansori, menegaskan bahwa setiap anak yang terjerat dalam lingkaran kekerasan maupun kenakalan sejatinya adalah korban dari berbagai kondisi yang kompleks.
“Korban dari kemiskinan yang memaksa orang tua bekerja 12 jam sehari. Korban lingkungan kumuh yang lebih banyak menawarkan jalan pintas daripada pendidikan. Korban sistem yang kerap melihat mereka sebagai masalah yang harus dihukum, bukan sebagai generasi yang perlu diselamatkan,” kata Isa, Selasa (20/5/2025).
Menurut Isa, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sendiri telah merespons persoalan ini melalui program Kampung Anak Negeri (KANRI) dan Asrama Bibit Unggul. Namun, ia mempertanyakan efektivitas jangka panjang dari program tersebut.
“Jika kita jujur, berapa banyak dari anak-anak ini yang benar-benar berubah setelah kembali ke rumah? Ke keluarga yang masih miskin, ke lingkungan yang masih keras, ke masa depan yang masih suram?” sebut Isa.
Isa mengaku telah berdiskusi langsung dengan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi terkait hal ini. Dalam pertemuan tersebut, ia menyampaikan bahwa Surabaya memiliki potensi kuat untuk menjadi kota pelopor penanganan anak-anak bermasalah, seperti pelaku tawuran, pengguna narkoba, anak putus sekolah, hingga pelaku kekerasan dalam keluarga.
Menurutnya, Wali Kota Eri Cahyadi menunjukkan komitmen besar untuk menyelamatkan masa depan anak-anak dengan pendekatan yang lebih humanis. “Akan ada 500 anak yang terjaring razia yang akan kita selamatkan masa depannya di Kampung Anak Negeri,” ujar Isa menirukan pernyataan Wali Kota Eri Cahyadi.
Isa lalu mencontohkan seorang remaja berinisial A (14), anak dari buruh serabutan di kawasan Surabaya Utara, yang sempat terlibat dalam tawuran. Setelah dibina selama tiga bulan di KANRI, anak tersebut menunjukkan perubahan positif. Namun, ketika kembali ke lingkungan asalnya, tantangan yang sama kembali menghadangnya.
“Inilah mengapa Surabaya butuh pendekatan baru. Bukan hanya menyelamatkan anak untuk sementara, tapi menyelamatkan masa depannya secara permanen,” tegas Wakil Ketua ICMI Jatim tersebut.
Untuk itu, Isa mengusulkan agar Surabaya menerapkan konsep Youth Guarantee seperti yang dijalankan di Finlandia. Konsep ini menekankan bahwa setiap anak tidak hanya ditampung di asrama, tetapi dibina dalam ekosistem komunitas yang mendukung tumbuh kembangnya secara holistik dan tetap melibatkan keluarga.
“Karena orang tua akan dihadirkan secara berkala untuk bertemu dengan anak anaknya yang menjalani proses belajar di tempat tersebut. Dan ini mempunyai kemiripan dengan Kampung Anak Negeri atau Asrama Bibit Unggul,” beber Isa.
Lebih rinci, Isa memaparkan bahwa Konsep Youth Guarantee yang ditawarkan mencakup beasiswa sekolah atau pelatihan keterampilan (seperti listrik, otomotif, coding), pendampingan oleh mentor (guru, relawan, hingga mantan anak binaan yang sudah berhasil), serta program magang di UMKM atau perusahaan lokal yang bekerja sama dengan Pemkot Surabaya.
Selain anak-anak, orang tua mereka juga akan diberdayakan melalui pelatihan kerja jangka pendek, seperti menjahit atau mengelas, agar mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan tanpa harus meninggalkan anak. Kelas parenting pun disiapkan di pusat layanan keluarga untuk meningkatkan kapasitas pengasuhan.
“Bayangkan jika A, setelah keluar dari asrama, dapat pelatihan servis HP dan dibimbing oleh seorang mekanik yang peduli. Atau jika ibunya dilatih membuat kue dan diberi modal kecil. Bukankah peluang mereka untuk hidup lebih baik akan jauh lebih besar,” kata Isa.
Untuk itu, Isa mengharapkan agar KANRI tidak sekadar menjadi tempat pembinaan, tetapi bertransformasi menjadi pusat kegiatan komunitas. Tempat ini bisa terbuka untuk semua anak di sekitar, bebas stigma, dan menjadi wadah pendidikan informal seperti kursus komputer, bengkel mini, hingga lapangan futsal. “Warga sekitar pun bisa dilibatkan sebagai pengajar, mentor, atau orang tua asuh,” tambahnya.
Isa mengusulkan model “Satu RT Satu Mentor” sebagai program konkrit yang bisa langsung dijalankan. Pemuda Karang Taruna maupun ibu-ibu PKK dilatih untuk menjadi pemantau dan pembimbing anak-anak di lingkungannya masing-masing.
“Saya juga mengusulkan program Kelas Kedua, yakni pembelajaran alternatif bagi anak-anak yang tidak cocok dengan pendidikan formal, agar tetap bisa belajar sambil magang di bengkel atau warung kopi,” terangnya.
Menurutnya, program ini tidak perlu menunggu anggaran besar. Cukup dimulai dengan proyek percontohan di 1-2 kelurahan, seperti Tambak Wedi dan Dupak. Pemkot Surabaya bisa melibatkan perguruan tinggi sebagai mitra pendamping, serta UMKM lokal untuk membuka kesempatan magang. Sedangkan untuk sumber dana bisa berasal dari CSR perusahaan dan dana desa.
“Anak-anak seperti A bukanlah masalah. Mereka adalah korban dari rantai kemiskinan dan keterlantaran yang terus berputar. Tapi rantai itu bisa diputus,” tegas dia.
Dengan pendekatan Surabaya Youth Guarantee dan transformasi KANRI menjadi kampung komunitas, Isa berharap Kota Surabaya bisa memberikan lebih dari sekadar bantuan sementara. “Kita tidak hanya memberi mereka ikan, tapi juga kail, kolam, dan orang yang mengajarinya memancing,” imbuh Pengurus LHKP Muhammadiyah Surabaya ini.
Surabaya, kata Isa, telah terbukti sebagai Kota Pahlawan. Kini saatnya membuktikan diri sebagai kota yang menyelamatkan generasi penerusnya. “Karena setiap anak, seberat apapun masalahnya, pantas dapat kesempatan kedua. Mari wujudkan Surabaya sebagai kota layak anak, dimulai dari kampung – kampungnya,” pungkasnya. (yok)