Polemik Beda Data Stunting, DPRD Surabaya Serukan Keterbukaan Akses Data Antar Instansi Pemerintah

SURABAYA – HKNews.info : Kendatipun berbeda data stunting antara Pemerintah Kota Surabaya dan BPS (Badan Pusat Statistik), prevalensi stunting Surabaya terendah se Indonesia. Masalahnya adalah terjadinya perbedaan data tersebut, yang hingga kini masih menjadi sorotan.
Selisih antara angka stunting yang dilaporkan BPS dan Pemerintah Kota Surabaya bervariasi. BPS mencatat angka stunting di Surabaya pada tahun 2022 sebesar 4,8%, sementara Pemerintah Kota Surabaya mencatat prevalensi stunting di Surabaya pada tahun 2022 sebesar 1,6% . Penyebabnya bisa karena metode pengumpulan data, cakupan wilayah, dan frekuensi pengumpulan kedua pihak berbeda.
Namun Wakil Ketua DPRD Surabaya, Arif Fathoni, punya penilaian lebih jeli. Yakni, minimnya keterbukaan data menjadi penghambat serius dalam menyelesaikan masalah strategis seperti stunting dan kemiskinan.
Arif Fathoni, menilai masalah utama dalam sistem pemerintahan saat ini adalah ego sektoral antar institusi, termasuk dalam hal keterbukaan dan integrasi data antar lembaga.
“Problem utama sistem pemerintahan kita adalah masih adanya ego sektoral antar institusi pemerintahan. Termasuk salah satunya adalah data dari BPS yang tidak pernah diberikan secara gamblang kepada pemerintah daerah,” ungkap politisi yang akrab disapa Toni tersebut, Sabtu (10/5/2025).
Menurut Toni, data BPS seharusnya menjadi acuan utama dalam merancang dan menjalankan kebijakan pembangunan. Baik itu yang bersumber dari pemerintah pusat maupun inisiatif daerah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Data BPS itu adalah data primer. Jika pemerintah kota tidak memiliki akses penuh terhadapnya, maka berbagai program pembangunan akan sulit dievaluasi secara objektif dan tepat sasaran,” lanjutnya.
Ia mencontohkan dalam kasus stunting, data yang dimiliki Pemkot Surabaya kerap berbeda dengan hasil survei BPS. Hal ini menurutnya sangat menghambat langkah konkret dalam menangani permasalahan gizi kronis yang memengaruhi perkembangan anak tersebut.
“Kalau data utamanya tidak sinkron, maka pasti penanganannya berbeda pula. Pemerintah kota bisa jadi mengklaim satu capaian, tapi BPS mengungkap hal yang berbeda. Ini tentu menimbulkan kebingungan publik,” tegasnya.
Pernyataan Toni sejalan dengan keluhan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dalam Sidang Pleno IV Musyawarah Nasional (Munas) VII Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) 2025 yang berlangsung di Convention Hall Grand City Surabaya.
Dalam forum tersebut, Eri menegaskan pentingnya sistem satu data yang terintegrasi antara pemerintah kota dan pusat untuk menangani persoalan seperti kemiskinan dan stunting.
“Kalau data kami berbeda dengan BPS, bagaimana kami bisa melakukan intervensi secara tepat? Sekarang alhamdulillah sudah ada pembicaraan antara Kemendagri dan BPS agar data bisa diberikan by name by address,” ujar Eri.
Eri menekankan, sistem data terintegrasi akan membuat pemerintah kota bisa mengambil tindakan langsung dan tidak hanya menunggu instruksi pusat.
“Ketika data sudah lengkap, intervensi bisa dilakukan langsung ke keluarga miskin atau anak-anak yang terindikasi stunting. Jadi tidak hanya sekadar angka di atas kertas,” tegasnya.
Baik Toni maupun Eri sepakat bahwa koordinasi antar institusi harus diperkuat demi tujuan bersama: mensejahterakan rakyat Indonesia. Toni menegaskan bahwa seluruh institusi harus menanggalkan ego sektoral dan mulai membangun sinergi data yang kokoh.
“Karena tujuan kita sama: mengabdi kepada bangsa dan negara demi kesejahteraan rakyat. Maka sudah saatnya semua pihak duduk bersama, terbuka, dan berbagi data demi kepentingan masyarakat,” pungkasnya.
Perbedaan data antara BPS dan pemerintah daerah seperti yang terjadi di Surabaya bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cerminan dari lemahnya koordinasi dan masih kuatnya ego sektoral dalam birokrasi Indonesia. Di tengah semangat reformasi birokrasi dan transformasi digital, keterbukaan dan integrasi data seharusnya menjadi pondasi utama dalam merumuskan kebijakan publik.
Harapan besar kini tertuju pada pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto, agar mampu mendorong lahirnya sistem satu data yang transparan, komprehensif, dan dapat diakses hingga ke level daerah.
Sebab, tanpa data yang akurat dan terbuka, mustahil pembangunan bisa tepat sasaran. saatnya semua pihak meninggalkan ego sektoral dan bersatu dalam satu visi: mewujudkan kesejahteraan nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. (yok)