Surabaya Jadi Etalase Nasional Pengelola Keberagaman Sosial

SURABAYA – HKNews.info : Kota Surabaya bukan sekedar kota metropolitan yang maju secara ekonomi, melainkan juga menjadi etalase nasional dalam pengelolaan keberagaman sosial. Hal ini disampaikan oleh Ketua Karang Taruna Kota Surabaya, Febryan Kiswanto pada Selasa (23/12/2025).
Menurutnya keberagaman sosial dapat dilihat dari masyarakat Surabaya yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan budaya. Ia mengatakan bahwa fakta tersebut membuat Surabaya bertransformasi menjadi “laboratorium hidup” bagi praktik moderasi social.
Febryan menilai moderasi di Kota Pahlawan bukan lagi sekadar slogan, melainkan sudah mendarah daging dalam interaksi sehari-hari warga. Baginya, moderasi di Surabaya merupakan bentuk keseimbangan antara keyakinan pribadi dan penghormatan terhadap orang lain.
“Moderasi adalah jalan tengah yang menyeimbangkan komitmen moral dan kebiasaan sosial. Hal ini memungkinkan masyarakat kita menerima perbedaan dalam kerangka hukum dan etika bersama,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa keharmonisan antara komunitas Jawa, Madura, Tionghoa, Arab, serta kelompok suku lainnya adalah bukti nyata bahwa pluralitas di Surabaya merupakan kekayaan budaya, bukan sumber konflik. Fenomena ini juga diperkuat dengan struktur sosial kampung-kampung di Surabaya yang memiliki solidaritas tinggi dan participative citizenship.
“Ada dua pilar penting dalam menjaga stabilitas sosial di Kota Pahlawan, yakni pendidikan internalisasi nilai toleransi melalui jalur formal dan sosial sejak dini untuk membangun sikap saling menghormati,” tegasnya.
Kemudian, pilar yang kedua adalah kepemimpinan lokal yang mengedepankan peran tokoh agama dan pemimpin organisasi masyarakat (ormas) sebagai mediator dialog antar kelompok, bukan hanya sebagai pemimpin ritual.
Meski Surabaya dikenal stabil, Febryan mengingatkan bahwa tantangan sebagai kota melting pot akan selalu ada. Risiko konflik berbasis SARA yang masih terjadi di berbagai wilayah di Indonesia menjadi pengingat bahwa moderasi harus terus diperkuat melalui kebijakan publik dan praktik sosial.
“Tanpa pendekatan moderat, risiko disintegrasi sosial dapat meningkat. Moderasi bukan hanya konsep ideal, tapi praktik yang harus terus diperkuat dalam struktur sosial kita,” ujarnya.
Terakhir, Febryan berharap sinergi nilai-nilai moderasi ini menjadikan Surabaya sebagai model percontohan bagi kota-kota lain di Indonesia dalam menghadapi tantangan pluralisme di era modern. (yok)




