Hukrim

Dinilai Tidak Cukup Bukti, Penasehat Hukum Minta Terdakwa HL Dibebaskan Dari Tuntutan Hukum

Abdurrahman Saleh, Penasehat Hukum Terdakwa HL

SURABAYA – HKNews.info : Sidang pledoi perkara pencabulan terhadap jemaat IW kembali digelar di Ruang Sidang Candra, Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (17/9/2020). Tim penasehat hukum terdakwa – Pendeta HL – mengajukan pembelaan dalam sidang tertutup yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Johannis Hehamony, atas tuntutan hukum sepuluh tahun penjara yang telah diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang sebelumnya.

Usai sidang, penasehat hukum terdakwa HL, Abdurrahman Saleh, mengungkapkan bahwa di dalam pledoi yang diajukan penasehat hukum meminta majelis hakim mempertimbangkan unsur-unsur yang dinilai tak terbukti bersalah secara hukum untuk membebaskan kliennya.

Saat dikonfirmasi HKNews.info di ruang loby Pengadilan Negeri Surabaya, usai sidang, Abdurrahman Saleh mengatakan, “Saya tetap menyatakan bahwa Pak HL tidak terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan seperti didakwakan terkait perbuatan – perbuatan pidana itu !”

Menurutnya, secara substansi adalah penambahan undang – undang di dalam surat tuntutan itu adalah sebuah pelanggaran hukum. Undang – Undang yang dipakai adalah Undang – Undang No.3 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, lalu tiba -tiba diganti tuntutannya dengan memasukkan Undang – Undang No.35 Tahun 2014.

“Ini kan sangat janggal sekali. Makanya saya mohon kepada hakim untuk melihat…, seperti tadi saya sampaikan…coba dibaca lagi surat dakwaannya juga dibaca lagi surat tuntutannya…kan tidak sama,”  ungkap Abdurrahman.

Fakta lain yang terungkap di persidangan, lanjut Abdurrahman, adalah bahwa tidak ada satu pun saksi yang mengetahui Pak HL (terdakwa, kliennya) melakukan perbuatan pidana seperti yang dituduhkan….tidak ada yang tahu.

Sedangkan kesaksian saksi yang terungkap di persidangan, bahwa saksi melihat dia turun dari atas, lalu melihat berduaan di mobil…. “Apakah itu sebuah petunjuk ? Bukan ! Yang namanya petunjuk adalah rangkai peristiwa, dan untuk mencari alat bukti adalah persesuaian dengan apa yang didakwakan !” ucap Abdurrahman.

Sementara, bukti pendukung lainnya seperti visum tidak ada. “Alat bukti lainnya yang diajukan di persidangan tidak mendukung, seperti KTP, KK, surat pernyataan….itu bukan bukti hukum. Sedangkan bukti pidana yang dicari adalah kebenaran materiil bukan kebenaran formil,” tegasnya.

“Hakim kan harus mengadili berdasarkan fakta – fakta yang terungkap di persidangan, bukan berdasarkan opini yang berkembang di luar persidangan, meskipun di luar persidangan terdakwa sudah diopinikan di masyarakat luas bahwa dia pelakunya,” kata Abdurrahman.

Maka, lanjutnya, saya tegaskan…hakim harus ada keberanian hukum untuk membebaskan terdakwa dari segala dakwaan karena tidak ada buktinya. Bukti yang seharusnya adalah peristiwa itu harus berangkai dan bersesuaian, sedangkan fakta yang terungkap di persidangan…peristiwanya tidak berangkai.

“Tentu Pak HL (terdakwa) harus bebas dari tuntutan hukum. Hakim harus ada keberanian hukum menilai pembuktian – pembuktian hukumnya ini, dan membebaskan Pak HL dari seluruh dakwaan,” tegas Abdurrahman.

Seperti diketahui, pada sidang sebelumnya, Senin (14/9/2020), Jaksa Penuntut Umum  Rista Erna dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, menyatakan terdakwa HL terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 82 Undang – Undang No.3 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan mengajukan tuntutan hukuman pidana penjara selama 10 tahun, ditambah denda sebesar Rp. 100 juta subsidair 6 bulan kurungan.

Atas tuntutan hukuman ini, penasehat hukum terdakwa HL, mengajukan pembelaan. (yok)

Related Articles

Back to top button